Menyekutukan Tuhan
Anehnya, bila kita “menanyakan” hal itu pada Al-Quran, kita akan beroleh jawaban yang lugas, namun sungguh di luar dugaan.
… yaitu orang-orang yang memecah-belah ‘dien’ mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka. (QS [30]:32)
Hmm… Apakah artinya ini?
Pernah saya baca bahwa dien ini berarti agama, tapi bisa pula sebuah ideal — tempat kita mendefinisikan diri kita per hari ini, sesuatu yang kita yakini karena sungguh tak mudah berharap tanpa suatu rasa percaya akan masa depan yang indah, suatu perspektif tentang dunia bagaimana kita musti menjalani hari-hari. Suatu jalan hidup.
Mari berhenti dan cerna barang sebentar, soal golongan.
Kelompok. Bukankah itu cuma lubuk makan di tengah jembatan menuju Kota Seberang, teman-teman yang baik? Bukankah Tuhan, seperti kata Quran, kepada-Nya kita kembali? Barangkali kita jadi “musyrik”, orang yang lupa arah kembali lantaran “… bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka”?
Dari manakah itu? Di manakah ruang-ruang di dalam diri, yang mampu memecah-belah dien ini?
Dien yang semburat, seperti halnya kebanggaan pada ego dan kelompok. Mungkin itu sebuah “kemusyrikan”. Dan lelah sungguh, berpegang pada ideal-ideal, “agama-agama”, cara hidup yang berbeda-beda untuk setiap segmen kehidupan kita. Bukankah begitu?
Barangkali pula kita perlu sebuah tekad, demi menyatukan setiap untai suara dan nafas, setiap keterpisahan, kemusyrikan…
Katakanlah: sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. (QS [6]:162)Kerja dan sujud. Kantor dan masjid. Padang golf dan ngaji. Quran dan The Essays of Warren Buffett. Kelompok dan sendiri. Agaknya… musti padu. Menyatu. Karena, seperti kata guru agama kita, hanya kepada-Nya kita kembali, hanya kepada-Nya kita mengabdi.
*catatan: watung.org