Tepatkah R.A Kartini Dianggap Sebagai Pelopor di Indonesia?


Sejarah resmi seringkali tidak jujur ditulis dan disampaikan, Salah satunya tentang sosok Raden Ajeng Kartini. Diakui atau tidak, sejarah nasional Indonesia sangat Jawa Sentris dan dengan sendirinya menganggap remeh fakta-fakta sejarah yang ada di luar Jawa.

Gajah Mada dianggap sebagai pahlawan pemersatu Nusantara, padahal bagi orang-orang Swarnadwipa, Borneo, Celebes, Bali, dan lainnya, Gajah Mada tidak lebih sebagai seorang agresor dan penjajah. Dan sudah tepatkah RA Kartini dianggap sebagai tokoh pelopor kemajuan perempuan di Indonesia? Mari kita lihat fakta sejarah yang ada.

Faktanya adalah: delapan abad sebelum Kartini lahir, di Kerajaan Aceh Darussalam sudah ada empat perempuan yang menjadi Sultan (Sultanah) dari 31 Sultan yang ada. Mereka adalah Sri Ratu Tajul Alam Safiatuddin (memerintah tahun 1050-1086 H), Sri Ratu Nurul Alam Naqiatuddin (1086-1088 H), Sri Ratu Zakiatuddin Inayat Syah (1088-1098 H), dan Sri Ratu Kamalat Syah (1098-1109 H).

Jika seorang Raden Ajeng Kartini baru bisa berdiskusi, bermimpi ingin ini dan itu, surat menyurat, dan mengajar di kediamannya, maka para perempuan Aceh sudah berjihad di belantara hutan memerangi kaum kafirin bersama-sama para Mujahidin prianya. Mereka adalah Laksamana Malahayati yang gagah berani dalam memimpin armada laut Kerajaan Aceh Darussalam melawan Portugis, Cut Nyak Din yang memimpin perang melawan Belanda setelah suaminya Teuku Umar syahid di medan perang. Teungku Fakinah, seorang ustadzah yang memimpin resimen laskar perempuan dalam perang melawan Belanda, usai perang Fakinah mendirikan pusat pendidikan Islam bernama Dayah Lam Diran.

Cut Meutia

Lalu kita kenal ada Cut Meutia, yang selama 20 tahun memimpin perang gerilya dalam belukar hutan Pase yang akhirnya menemui syahid karena Meutia bersumpah tidak akan menyerah hidup-hidup kepada kape Belanda. Pocut Baren, seorang pemimpin gerilya yang sangat berani dalam perang melawan Belanda di tahun 1898-1906. Pocut Meurah Intan, yang juga sering disebut dengan nama Pocut Biheu, bersama anak-anaknya Tuanku Muhammad, Tuanku Budiman, dan Tuanku Nurdin berperang melawan Belanda di hutan belukar hingga tertawan setelah terluka parah di tahun 1904. Cutpo Fatimah, teman seperjuangan Cut Meutia, puteri ulama besar Teungku Chik Mata Ie yang bersama suaminya bernama Teungku Dibarat melanjutkan perang setelah Cut Meutia syahid, hingga dalam pertempuran tanggal 22 Februari 1912, Cutpo Fatimah dan suaminya syahid bertindih badan diterjang peluru Belanda.

Salah seorang pemimpin gerilya Aceh Darussalam, Pocut Baren, namanya diabadikan menjadi nama sebuah resimen laskar perempuan Aceh “Resimen Pocut Baren” yang merupakan bagian dari Divisi Pinong di Aceh semasa revolusi fisik melawan Belanda. Resimen perempuan Aceh ini sangat ditakuti Belanda karena terkenal tidak pernah mundur atau pun melarikan diri dalam setiap pertempuran. Mereka bahkan pantang menyerah hidup-hidup kepada penjajah.

Amat mungkin, disebabkan ruang gerak perempuan-perempuan Aceh yang sangat luas, tidak berbeda dengan kaum lelakinya, maka hal ini turut mempengaruhi cara berpakaian mereka. Prof. Dr. HAMKA menulis,
Di seluruh tanah air kita ini, hanya di Aceh pakaian asli perempuan memakai celana. Sebab mereka pun turut aktif dalam perang. Mereka menyediakan perbekalan makanan, membantu di garis belakang dan pergi ke medan perang mengobati yang luka.

Mereka ini semua sudah sederajat dengan kaum prianya, di saat Kartini baru bermimpi. Dan satu lagi, SALAH BESAR jika menganggap Kartini mencita-citakan persamaan antara perempuan dan laki-laki seperti dalam paradigma barat. Kartini bahkan menyerang peradaban barat. Hal ini tertuang dalam surat Kartini kepada Nyonya Abendanon, 27 Oktober 1902: “Sudah lewat masanya, tadinya kami mengira bahwa masyarakat Eropa itu benar-benar satu-satunya yang paling baik, tiada taranya. Maafkan kami, tetapi apakah ibu sendiri menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah ibu menyangkal bahwa dibalik hal yang indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal-hal yang sama sekali tidak patut disebut sebagai peradaban?”

Dan didorong dari keyakinan yang kuat sebagai seorang Muslimah yang ingin mendalami Islam secara kaffah, Kartini juga menyerang upaya Kristenisasi terhadap umat Islam yang dilakukan kafir Belanda. “Bagaimana pendapatmu tentang Zending, jika bermaksud berbuat baik kepada rakyat Jawa semata-mata atas dasar cinta kasih, bukan dalam rangka kristenisasi? Bagi orang Islam, melepaskan keyakinan sendiri untuk memeluk agama lain, merupakan dosa yang sebesar-besarnya. Pendek kata, boleh melakukan Zending, tetapi jangan mengkristenkan orang. Mungkinkah itu dilakukan?” (Surat Kartini kepada E.E. Abendanon, 31 Januari 1903).

Kartini adalah seorang priyayi Jawa yang ingin memberontak terhadap kultur keraton Jawa yang menganggap perempuan hanya pantas untuk di tiga tempat: Dapur, Sumur, dan Kasur. Jiwanya menyala-nyala ingin mendalami Islam dan menjadi salah satu pejuangnya. Kecintaannya kepada Islam membuatnya rela menjadi isteri kedua.

Jika Kartini sekarang masih hidup, dia pasti akan menyerang pengertian emansipasi yang ada seperti sekarang ini. Kartini akan menyerang kontes ratu-ratuan yang mengumbar aurat, Kartini akan menyerang keinginan perempuan untuk menjadi seperti pria yang sebenarnya berangkat dari perasaan rendah diri dan pengakuan jika pria lebih unggul, sebab menurut Kartini, "perempuan dan laki-laki itu memiliki keunggulan dan juga kelemahannya masing-masing yang unik, sebab itu mereka memerlukan satu dengan yang lainnya, saling melengkapi."

Walau demikian, jika negara ini mau jujur, sesungguhnya predikat pelopor kebangkitan perempuan Indonesia bukanlah RA Kartini, namun para Srikandi Aceh Darussalam. HAMKA sendiri menulis: “Pikirkanlah dengan dalam! Betapa jauh perbedaan latar belakang wanita Aceh 358 tahun yang lalu itu dengan perjuangan wanita zaman sekarang. Mereka itu didorong oleh semangat jihad dan syahid karena ingin bersama menegakkan agama Allah dengan kaum laki-laki, jauh daripada arti yang dapat kita ambil dari gerakan emansipasi wanita atau Feminisme zaman modern sekarang ini.”

Namun itulah tadi, para penguasa bangsa ini sejak dulu selalu menganggap negara ini seolah-olah hanyalah Pulau Jawa, sehingga ketinggian peradaban di luar Jawa sama sekali tidak dihitung sehingga sejarah resmi negeri kita ini sampai sekarang masih sangat Jawa-Sentris. Ini jelas tidak adil dan tidak benar. Sama seperti bila kita menyebut Boedhi Oetomo sebagai tonggak kebangkitan nasional, ini pun salah besar karena Boedhi Oetomo adalah organisasi yang berada di ketiak Ratu Belanda dan banyak tokohnya bergabung dengan Freemasonry, sebuah kelompok Luciferian yang melayani Dajjal. Beda dengan Sarikat Islam yang sudah berdiri dan mencita-citakan kemerdekaan Indonesia tiga tahun sebelum Boedhi Oetomo lahir. Ini pun harus diubah.

Emansipasi dalam Islam itu tidak ada. Karena Islam sama-sama menganggap perempuan dan laki-laki itu sederajat, dengan hak dan kewajibannya masing-masing. Yang membedakannya hanyalah tingkat ketakwaan terhadap Allah Swt. Itu saja.

Emansipasi yang salah kaprah seperti sekarang memang merupakan racun yang disusupkan ke dalam otak kita semua. Dan kalau mau jujur, sebenarnya Barat sendiri juga tidak melaksanakan emansipasi seperti yang digembar-gemborkannya selama ini. Salah satu contoh mudah, negara Amerika Serikat yang sudah berusia 233 tahun presidennya selalu saja kaum pria. Belum ada perempuan Amerika yang dianggap pantas untuk menjadi presiden. Ini bukti yang tidak terbantahkan.

"Dan jika perempuan Indonesia ingin meneladani Kartini, maka jadilah seorang Muslimah sejati. Yang menutup aurat, mencintai Islam, dan berani mengatakan al-haq walau kepada penguasa sekali pun."

Wallohu a'lam bisshowab, Wassalamu’alaikum warohmatulloh wabarokatuh..
  1. Wah info penting nih. ternyata pergerakan wanita Indonesia sudah dari jaman dahulu ya. nice thank you.

    BalasHapus
  2. Ini menurut saya.
    Menurut saya apa yang anda katakan mengenai R.A. Kartini mengenai pelopor emansipasi perempuan di Indonesia memang benar. Saya sebagai seorang sejarahwan kurang tepat dengan penunjukkan maaf beliau (R.A. Kartini) karena jauh sebelum itu, sudah ada tokoh-tokoh perempuan yang memperjuangkan hak-hak kaum hawa misalnya Cut Mutia, Malahayati, Cut Nyak Dien, dll.
    Saya juga sependapat mengenai pemilihan tokoh yang terkesan "maaf" Jawa-Sentris. Sehingga perlua adnya semacam audit yg menyeluruh mengenai gelar Pahlawan tanpa mengecilkan perjuangan para tokoh tersebut. Karena menurut saya pahlawan2 yg ad saat ini merupakan produk orde baru yg bnyak sekali kpntngan di dlamnya...contohnya saja pd ms orba peranan etnik Tionghoa di kerdilkan terutama dalam penyebaran Islam di Indonesia, misalnya saja pendiri kerajaan pertama di Indo. (Demak) merupakan orang Jawa pdhal slh yg bnr mereka adlah Cina (Raden Rahmat=Jin Bun, Sunan Bonang=Bon Ang) dan kt Sunan Juga brsal dr Cina Su=Guru sdngkan Nan=Selatan berarti "Guru dari Selatan". Trimakasih
    jngan lupa mampir ke blog butut-Ku
    universal-24july.blogspot.com

    BalasHapus
  3. senang menyimak interaksi komentar sebelum2nya atas postingan kang andy...

    BalasHapus
  4. setelah mendapat postingan mas andy, disambut dengan komentar dari seorang sejarawan,,, semakin bertambah wawasanku dalam sejarah indonesia.. ^_^,.. cut meutia di aceh nama beliau dan suaminya sangat haruum mas, hingga beliau dibutakan karena belanda takut dengan taktik perang beliau dan suaminya.

    BalasHapus
  5. assalamualaikum. salam kenal kak.. subhanallah.. tulisannya bagus2 :)
    sejujurnya saya cukup terkesan dengan R.A. Kartini.. setelah membaca tulisan ini pun tetap terkesan dengan tokoh tersebut. Saya belum tahu banyak si tentang perjuang perempuan yang lain.. yang lebih "ngetrend" (paling tidak di lingkungan sekitar saya) memang Kartini jadi saya juga lebih dulu tertarik membaca tentang Kartini. Terima kasih ni infonya.. Saya harus lebih banyak membaca lagi..

    BalasHapus
  6. good posting kang andy!!
    saya pernah mendiskusikan ini dengan seorang teman yg sedang menjalani S2 nya di sastra UNPAD, mengenai "jawa-sentris", benar sekali. bukan karena tidak senang atau sebagainya, dan bukan juga iri karena saya berasal dari luar pulau jawa ^^, tapi indonesia itu adalah pulau jawa (kenyataan di TKP), lihat saja dari bagian kecil NKRI (pemerintahan, terutama presiden), sepertinya diskenariokan HARUS dari suku jawa. mungkin ini salah satu peninggalan pandangan penjajah.
    masalah RA. Kartini, saya pernah membaca artikel begini,
    "Kebanyakan orang yang menjadikan Kartini sebagai ikon perjuangan perempuan Indonesia, tak melihat sisi lain dari pemikirannya yang sangat berbau Theosofi dan kebatinan. Padahal, banyak tokoh wanita lain yang hidup semasa dengannya, yang berjuang secara nyata dalam dunia pendidikan, bukan dalam wacana surat menyurat seperti yang dilakukan Kartini"

    dan juga begini,
    "…Kartini banyak bergaul dan melakukan korespondensi dengan orang-orang Belanda berdarah Yahudi yang ditugaskan oleh Snouck Hurgronye untuk mendekati Kartini…"

    "…maka Kartini menjadi bidikan kelompok Theosofi, sebuah kelompok yang juga banyak digerakkan oleh orang-orang Belanda saat itu..."

    "…Alam spiritual Kartini tak hanya dipengaruhi oleh kepercayaan akan mistis Jawa, tetapi juga oleh pemikiran-pemikiran Barat…"

    Tepatkah jika Kartini, berpikiran Barat dan berpaham Theosofi, dijadikan ikon bagi perjuangan kaum wanita pribumi?

    hehehe...mv kepanjangan komen ya kang :)

    BalasHapus