Agama dan Negara dalam Civic Education

ANTARA NEGARA DAN AGAMA
AGAMA

Agama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sistem atau prinsip kepercayaan kepada Tuhan, atau juga disebut dengan nama Dewa atau nama lainnya dengan ajaran kebhaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan tersebut.
Kata "agama" berasal dari bahasa Sansekerta āgama yang berarti "tradisi". Sedangkan kata lain untuk menyatakan konsep ini adalah “religi” yang berasal dari bahasa Latin religio dan berakar pada kata kerja re-ligare yang berarti "mengikat kembali". Maksudnya dengan berreligi, seseorang mengikat dirinya kepada Tuhan.
Beberapa pendapat mengenai pengertian dari Agama dalam berbagai bahasa, antara lain:

Dalam bahasa Sansekerta
1. Kata "agama" berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti "tradisi".
2. Dalam bahasa Sansekerta artinya tidak bergerak (Arthut Mac Donnell).
3. Agama itu kata bahasa Sansekerta (yaitu bahasa agama Brahma pertama yang berkitab Veda) ialah peraturan menurut konsep Veda (Dr. Muhammad Ghalib).

Dalam bahasa Latin
1. Agama itu hubungan antara manusia dengan manusia super (Servius)
2. Agama itu pengakuan dan pemuliaan kepada Tuhan (J. Kramers Jz)

Dalam bahasa Eropa
1. Agama itu sesuatu yang tidak dapat dicapai hanya dengan tenaga akal dan pendidikan saja (Mc. Muller dan Herbert Spencer).
2. Agama itu kepercayaan kepada adanya kekuasan mengatur yang bersifat luar biasa, yang pencipta dan pengendali dunia, serta yang telah memberikan kodrat ruhani kepada manusia yang berkelanjutan sampai sesudah manusia mati (A.S. Hornby, E.V Gatenby dan Wakefield)

Dalam bahasa Indonesia
1. Agama itu hubungan manusia Yang Maha Suci yang dinyatakan dalam bentuk suci pula dan sikap hidup berdasarkan doktrin tertentu (Drs. Sidi Gazalba).
2. Agama adalah sistem atau prinsip kepercayaan kepada Tuhan, atau juga disebut dengan nama Dewa atau nama lainnya dengan ajaran kebhaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan tersebut.

NEGARA

Negara adalah suatu wilayah di permukaan bumi yang kekuasaannya baik politik, militer, ekonomi, sosial maupun budayanya diatur oleh pemerintahan yang berada di wilayah tersebut. Negara adalah pengorganisasian masyarakat yang berbeda dengan bentuk organisasi lain terutama karena hak negara untuk mencabut nyawa seseorang. Untuk dapat menjadi suatu negara maka harus ada rakyat, yaitu sejumlah orang yang menerima keberadaan organisasi ini. Syarat lain keberadaan negara adalah adanya suatu wilayah tertentu tempat negara itu berada. Hal lain adalah apa yang disebut sebagai kedaulatan, yakni bahwa negara diakui oleh warganya sebagai pemegang kekuasaan tertinggi atas diri mereka pada wilayah tempat negara itu berada.
Pengertian Negara menurut para ahli
Georg Jellinek : Negara adalah organisasi kekuasaan dari sekelompok manusia yang telah berkediaman di wilayah tertentu.
Georg Wilhelm Friedrich Hegel : Negara merupakan organisasi kesusilaan yang muncul sebagai sintesis dari kemerdekaan individual dan kemerdekaan universal
Roelof Krannenburg : Negara adalah suatu organisasi yang timbul karena kehendak dari suatu golongan atau bangsanya sendiri.
Roger H. Soltau : Negara adalah alat atau wewenang yang mengatur atau mengendalikan persoalan bersama atas nama masyarakat. Negara di definisikan dengan alat (agency) atau wewenang (authority) yang mengatur atau mengendalikan persoalan-persoalan bersama, atas nama masyarakat.
Harold J. Laski : Negara merupakan suatu masyarakat yang di integrasikan karena mempunyai wewenang yang bersifat memaksa dan secara sah lebih agung dari pada individu atau kelompok yang merupakan bagian dari masyarakat itu. Masyarakat merupakan suatu kelompok manusia yang hidup dan bekerja sama untuk mencapai terkabulnya keinginan-keinginan mereka bersama.
Max Weber : Negara adalah suatu masyarakat yang mempunyai monopoli dalam penggunaan kekerasan fisik secara sah dalam suatu wilayah.
Robert M. Mac Iver : Negara di artikan dengan asosiasi yang menyelenggarakan penerbitan di dalam suatu masyarakat dalam suatu wilayah dengan berdasarkan system hokum yang di selenggarakan oleh suatu pemerintahan, yang mempunyai maksud dapat memberikan kekuasaan memaksa.
Prof. R. Djokosoetono : Negara adalah suatu organisasi manusia atau kumpulan manusia yang berada di bawah suatu pemerintahan yang sama.
Prof. Mr. Soenarko : Negara ialah organisasi manyarakat yang mempunyai daerah tertentu, dimana kekuasaan negara berlaku sepenuhnya sebagai sebuah kedaulatan.
Aristoteles : Negara adalah perpaduan beberapa keluarga mencakupi beberapa desa, hingga pada akhirnya dapat berdiri sendiri sepenuhnya, dengan tujuan kesenangan dan kehormatan bersama.

Secara literal istilah Negara merupakan terjemahan dari kata- kata asing, yakni dari kata state yang berasal dari bahasa inggris, staat yang berasal dari bahasa belanda dan bahasa jerman, dan etat yang berasal dari bahasa prancis. Semua kata itu pada umumnya di ambil dari satu kata dari bahasa latin yaitu status atau statum, yang berarti keadaan yang tegak dan tetap atau sesuatu yang memiliki sifat-sifat yang tegak (berdiri sendiri) dan tetap.
Kata status atau statum bisa juga di artikan sebagai standing atau station (kedudukan). Istilah tersebut di hubungkan dengan kedudukan persekutuan hidupmanusia, yang juga sama dengan istilah status civitatis atau status republicae. Dari pengertian inilah kata status kurang lebih pada abad ke-16 ini di ikut sertakan dengan kata Negara sampai sekarang.

Secara terminologi suatu negara dapat di artikan sebagai organisasi tertinggi di antara saru kelompok masyarakat yang mempunyai keinginan untuk bersatu, hidup di suatu wilayah tertentu dan mempunyai pemimpin yang berdaulat. Pengertian ini mengandung nilai konstitutif dari sebuah negara yang meniscayakan adanya unsur dalam sebuah negara, yakni adanya mesyarakat (sekelompok orang), adanya daerah (wilayah), dan adanya pemerintahan yang berdaulat.
Dalam konsepsi islam dengan mengacu pada al-Qur’an dan sunnah rasul, tidak di temukan rumusan tentang Negara secara eksplisit, hanya saja di dalam asal mula hukum islam tersebut terdapat prinsip-prinsip dasar dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Selain itu konsep islam tentang negara juga berasal dari tiga paradigma, yaitu:
a. paradigma tentang teori khilafah yang mempraktekkan segala sesuatu yang bersumber dari rasulullah, terutama biasanya merujuk pada masa khulafa al rasyidin
b. paradigma yang bersumber pada teori imamah (dalam artian politik) dalam paham islam syi’ah.
c. Paradigma yang sumbernya dari teori imamah atau pemerintahan.
Dari beberapa pendapat tentang beberapa definisi atau arti yang sudah saya paparkan tersebut, dapat di pahami secara sederhana bahwa apa yang di maksud dengan negara adalah statu daerah teritorial yang rakyatnya di perintah (governed) oleh sejumlah pejabat yang berhak menuntut dari warganegaranya untuk taat pada peraturan perundang-undangan melalui penguasaan (kontrol) monopolostis dari kekuasaan yang sah.
Menurut pengamatan yang saya amati setelah membaca beberapa buku diantaranya di dalam karangan “tim ICC UIN Jakarta” yang berjudul “demokrasi hak asasi manusia dam ,masyarakat hak madani” saya sekurang-kurangnya mengerti dan memahami bahwa negara dan agama merupakan persoalan yang banyak menimbulkan perdebatan yang berkelanjutan di kalangan para ahli. Hal ini di sebabkan oleh perbedaan pandangan dalam menerjemahkan agama sebagai bagian dari Negara atau Negara merupakan bagian dari pokok ajaran agama yang harus di terima dan di yakini kebenarannya.

Pada hakikatnya, Negara sendiri secara umum di artikan sebagai suatu persekutuan hidup bersama sebagai penjelmaan sifat kodrati manusia sebagai mahluk individu dan mahluk social. Oleh karena itu, sifat dasar kodrat manusia tersebut merupakan sifat dasar Negara pula, sehingga Negara sebagai penjelmaan kodrat manusia secara horizontal dalam hubungan manusia dengan manusia lain untuk mencapai tujuan bersama.

Menurut Azyumardi dalam buku, karangan “tim ICC UIN Jakarta”. perdebatan ini sudah terjadi sejak hampir satu abad, dan masih berlangsung hingga sekarang, menurut dirinya perdebatan ini di mulai dari hubungan yang agak canggung antara Islam sebagai agama (din) dan negara (dawlah). Berbagai eksperimen telah dilakukan untuk menyelaraskan antara keduanya dengan konsep dan culture politik masyarakat Muslim.

Perdebatan Islam (masyarakat muslim) dan negara di awali dari pandangan dominan Islam sebagai sebuah sistem kehidupan yang menyeluruh (syumuli), yang mengatur dan menyeimbangakan semua kehidupan manusia, termasuk persoalan politik. Dari pandangan Islam sendiri sebagai agama yang komprehensif (mengandung pengertian yang luas dan menyeluruh) ini pada dasarnya dalam Islam tidak terdapat konsep pemisahan antara agama dan politik (dawlah). Argumentasi ini sering dikaitkan dengan posisi Nabi Muhammad SAW. di Madinah. Di kota ini, Nabi mempunyai dua posisi atau bisa juga dikatakan bahwa nabi berperan ganda dalam masalah ini yaitu sebagai seorang yang memimpin agama islam, sekaligus sebagai kepala negara yang memimpin sebuah sistem pemerintahan awal Islam yang oleh kebanyakan pakar dinilai sangat modern si massanya. Posisi ganda ini di sikapi oleh kebanyakan kalangan yang ahli. Karena secara garis besar perbedaan pandangan ini bermuara pada “apakah Islam identik dengan negara atau sebaliknya Islam tidak meninggalkan konsep yang tegas tentang bentuk negara”

Menyikapi realitas tersebut, ibnu Taimiyah mengatakan bahwa posisi Nabi pada saat itu adalah sebagai Rasul yang bertugas menyampaikan ajaran (Al-kitab) bukan sebagai penguasa atau presiden (bila di indonesia atau di amerika), kalaupun ada pemerintahan, itu hanya sebuah alat atau media untuk menyampaikan agama dan kekuasaan atau pemerintahan itu bukan agama itu sendiri. dengan kata lain politik atau negara dalam Islam hanyalah sebagai alat bagi agama, bukan eksistensi dari agama Islam. pendapat ibnu Taimiyah ini bersumber pada al-Qur'an (QS.. 57:25)

yang artinya:
"Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia, (supaya mereka mempergunakan besi itu) dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)Nya dan rasul-rasul-Nya Padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha kuat lagi Maha Perkasa."

Bersumber pada ayat ini ibnu taimiyah menyimpulkan bahwa Agama yang benar wajib memiliki buku petunjuk (Al-Qur’an) dan pedang penolong (sunnah rasul). Hal ini di maksudkan bahwa kekuasaan politik yang di simbulkan dengan pedang menjadi sesuatu yang mutlak bagi Agama, tetapi kekuasaan itu bukanlah agama itu sendiri, sedangkan polotik tidak lain sebatas alat unrtuk mencapai tujuan-tujuan luhur Agama.

Ahmad syafi’I maarif menjelaskan bahwa istilah dawlah yang berarti agama tidak di jumpai dalam Al-Qur’an. Memang uistilah dawlah ada pada surat Al-Hasyir ayat 7, akan tetapi makna dari dawlah tersebut bukanlah Negara, melainkan di pakai secara figurative (hanya sebagai gambaran) untuk melukiskan peredaran atau pergantian tangan dari kekayaan (jabatan).

Pandangan sejenis juga pernah di kemukakan oleh beberapa modernis mesir, antara lain Ali Abdul Raziq dan Muhammad husain haikal. Menurut haikal prinsip-prinsip dasar kehidupan kemasyarakatan yang di berikan oleh Al-Qur’an dan As-sunnah tidak ada yang langsung berkaitan dengan ketatanegaraan. Atau lebih lanjutnya dirinya mengatakan bahwa dalam Islam tidak terdapat suatu system pemeritahan yang baku. Umat islam bebas menganut system pemerintahan apapun asalkan system tersebut menjamin persamaan antara warga negaranya baik hak maupun kewajiban dan persamaan di hadapan hukum, dan pelaksaan urusan Negara di selenggarakan atas dasar musyawarah dengan berpegang kepada tata nilai moral dan etika yang di ajarkan Islam.

Dalam lintasan sejarah dan opini para teoritis polotik islam, di temukan beberapa pendapat yang berkenaan dengan konsep hubungan Agama dan Negara. yaitu dapat di rangkum ke dalam 3 paradigma antara lain:

1. PARADIGMA INTEGRALISTIK

Paradigma ini merupakan paham dan konsep hubungan Agama dan Negara yang menganggap bahwa Agama dan Negara merupakan satu kesatuan yang tidak dapat di pisahkan. Keduanya merupakan dua lembaga yang menyatu. Paradigma ini kemudian melahirkan konsep tentang Agama-Negara, yang berarti bahwa kehidupan Kenegaraan di atur dengan menggunakan hukum dan prinsip keagamaan. Dari sinilah kemudian paradigma integralistik di kenal juga dengan paham islami din wa dawlah, yang sumber positifnya adalah hukum Agama. Paham ini biasanya di gunakan atau di anut oleh kelompok islam syi’ah. Hanya saja nama dawlah di ganti dengan nama imamah. Paham ini Juga di anut oleh Negara kerajaan Saudi Arabia.

Dalam pergulatan islam dan dunia moderent, pola integrative ini kemudian melahirkan konsep tentang Agama dan Negara, yang berarti bahwa kehidupan kenegaraan di atur dengan menggunakan hokum dan prinsip keagamaan. Dari sinilah kemudian paradigma intedralistik identik dengan paham islam ad-din wa daulah (islam sebagai agama dan negar, yang hokum positifnya bersumber adalah hokum islam (syari’at-syari’at yang ada dalam islam).

2. PARADIGMA SIMBOTIK

Menurut konsep ini, hubungan Agama dan Negara di pahami saling membutuhkan dan bersifat timbale; balik. Agama membutuhkan Negara sebagai instrument dalam melestarikan dan mengembangakan Agama. Begitu juga Negara, Negara memerlukan Agama karena agama membantu dalam pembinaan moral, etika, dan spiritualisme warga negaranya.

Ibnu taimiyah mengatakan bahwa adanya kekuasaan yang mengatur kehidupan manusia merupakan kewajiban agama yang paling besar, karena tanpa kekuasaan Negara, maka Agama tidak bisa berdiri tegak (Taimiyah, al-syiasah al-syari’iyyah: 162). Pendapat tersebut meligitimasi bahwa antara agama dan Negara merupakan dua entitas yang berbeda, tetapi saling membutuhkan. Oleh karenanya, konstitusi yang berlaku dalam paradigma ini tidak hanya berasal dari adanya kontras social (social contract), tetapi bisa di warnai oleh hokum agama (syari’at). Dengan kata lain agama tidak mendominasi kehidupan bernegara, sebaliknya ia menjadi sumber moral bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Model pemerintahan Negara mesir dan Indonesia dapat di golongkan kepada kelompok paradigma ini.

3. PARADIGMA SEKULARISTIK

Paragidma ini beranggapan bahwa ada pemisahan antara agama dan Negara. Jadi keberadaannya harus di pisahkan karena mempunyai bidang masing-masing dan tidak boleh satu sama lain melakukan intervensi. Berdasarkan pemahaman ini, maka hukum positif tyang berlaku adalah hukum yang berasal dari kesepakatan manusia melalui social contract dan tidak ada kaitannya dengan hukum Agama.

Ali abdul raziq menyatakan bahwa dalam sejarah kenabian Rasulullah pun tidak di temukan keinginan nabi Muhammad untuk mendirikan Agama. Rasulullah hanya menyampaikan risalah kepada manusia dan mendakwakan ajaran agama kepada manusia.

HUBUNGAN ANTARA AGAMA DENGAN NEGARA

Ada beberapa paham atau konsep tentang agama dan negara menurut beberapa aliran, dan aliran-aliran itu berbeda-beda dalam menyikapi hubungan antara Agama dan Negara. diantaranya adalah paham teokrasi, paham sekuler dan paham komunisme.

1. HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA MENURUT PAHAM TEOKRASI

Paham ini menggambarkan hubungan antara agama dengan negara sebagai dua hal yang tidak dapat di pisahkan. Dalam paham terokrasi agama dan negara di gambarkan sebagai hal yang tidak dapat dipisahkan bagaikan seperti CPU dengan Monitor, sehingga jikalau keduanya terpisahkan, maka tidak akan bisa di gunakan. Negara menyatu dengan agama karena pemerintahan menurut paham ini di jalankan berdasarkan firman-firman Tuhan yaitu dalam kitab-Nya hal ini berdasarkan dalam ajaran agama islam, segala tata kehidupan dalam masyarakat, bangsa dan negara dilakukan atas kehendak Tuhan. Dengan demikian, urusan kenegaraan atau politik dalam paham terokrasi ini diyakini sebagai pembuktian langsung dari firman Tuhan. Jadi urusan kenegaraan atau politik dalam paham teokrasi juga di yakini sebagai menifastasi firman Tuhan.

Dalam perkembangan paham Teokrasi ini terbagi atas dua bagian yaitu:
a. paham Teokrasi langsung
menurut paham teokrasi langsung, pemerintahan di yakini sebagai otoritas tuhan secara langsung pula.adanya negara di dunia ini adalah atas kehendak tuhan, dan oleh karena itu yang memerintah adalah tuhan pula.

b. paham Teokrasi tak langsung
menurut sistem paham Teokrasi secara tidak langsung, yang memerintah bukanlah tuhan sendiri, melainkan yang memerintah adalah raja atau kepala negara yang memiliki otoritas atas nama tuhan. Kepala negara atau raja di yakini memerintah suatu negara atas kehendak tuhan, bukan kehendaknya sendiri.

Dalam pemerintahan paham Teokrasi tidak langsung, sistem dan norma-norma dalam negara di rumuskan berdasarkan firman-firman tuhan, dengan demikian, kalau menyatu dengan Agama, agama dan negara tidak dapat di pisahkan (atau saling berhubungan antara satu dengan yang lain).

2. HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA MENURUT PAHAM SEKULER

Istilah sekuler ini pertama kali digunakan oleh penulis Inggris yang bernama George Holoyake pada tahun 1846. Walaupun istilah yang digunakan, konsep kebebasan berpikir yang merasa darinya sekularisme yang didasarkan, hal ini telah ada sepanjang sejarah. Ide-ide sekular yang menyangkut pemisahan filsafat dan agama dapat dirunut baik ke Ibnu Rushdi dan aliran filsafat Averoisme. Holyoake menggunakan istilah sekularisme untuk menjelaskan bahwa pandangannya yang mendukung tatanan sosial terpisah dari agama, tanpa merendahkan atau mengkritik sebuah kepercayaan beragama. Sebagai seorang yang tidak tau akan Tuhan, Holyoake berpendapat bahwa sekularisme bukanlah alasan melawan Kekristenan namun terpisah dari itu. Sekularisme tidak mengatakan bahwa tidak ada tuntunan atau penerangan dari ideologi yang lain, namun memelihara bahwa ada penerangan dan tuntunan di dalam kebenaran sekular, yang kondisi dan sanksinya berdiri secara mandiri dan berlaku selamanya. Pengetahuan sekular adalah pengetahuan yang didirikan di dalam hidup ini, berhubungan dengan hidup ini, membantu tercapainya kesejahteraan di dunia ini, dan dapat diuji oleh pengalaman di dunia ini."

Kata sekularisme, seringkali di kaitkan dengan masa Pencerahan di negara Eropa, dan memainkan peranan utama dalam peradaban negara barat. Kebanyakan agama menerima hukum-hukum utama dari masyarakat yang demokratis namun mungkin masih akan mencoba untuk mempengaruhi keputusan politik, meraih sebuah keistimewaan khusus atau. Aliran agama yang lebih berpagang teguh pada ajaran agama menentang sekularisme. Penentangan yang paling dahsat muncul dari agama Kristen Fundamentalis dan juga Islam Fundamentalis. Pada saat yang sama dukungan akan sekularisme datang dari minoritas keagamaan yang memandang sekularisme politik dan pemerintah sebagai hal yang penting untuk menjaga persamaan hak. Negara-negara yang pada umumnya dikenal sebagai sekular diantaranya adalah Kanada, India, Perancis, Turki, dan Korea Selatan, walaupun tidak ada dari negara ini yang bentuk pemerintahannya sama satu dengan yang lainnya. Dalam istilah politik, sekularisme adalah pergerakan menuju pemisahan antara agama dan pemerintahan atau negara. Hal ini dapat berupa hal seperti mengurangi keterikatan antara pemerintahan dan agama negara, mengantikan hukum keagamaan dengan hukum sipil, dan menghilangkan pembedaan yang tidak adil dengan dasar agama. Hal ini dikatakan menunjang demokrasi dengan melindungi hak-hak kalangan beragama minoritas.

Dalam kajian keagamaan, masyarakat dunia nagara barat pada umumnya di anggap sebagai sekular. Hal ini di karenakan kebebasan beragama yang hampir penuh tanpa sangsi legal atau sosial, dan juga karena kepercayaan umum bahwa agama tidak menentukan keputusan politis. Tentu saja, pandangan moral yang muncul dari tradisi kegamaan tetap penting di dalam sebagian dari negara-negara ini. Sekularisme juga dapat berarti ideologi sosial. Di sini kepercayaan keagamaan tidak dianggap sebagai kunci penting dalam memahami dunia, dan oleh karena itu di pisahkan dari masalah-masalah pemerintahan dan pengambilan keputusan. Sekularisme tidak dengan sendirinya adalah mengingkrai adanya Tuhan (Ateisme), banyak para Sekularis adalah seorang yang religius dan para Ateis yang menerima pengaruh dari agama dalam pemerintahan atau masyarakat. Sekularime adalah komponen penting dalam ideologi yang menekan kepentingan-kepentingan manusia (Humanisme) Sekular. Beberapa masyarakat menjadi semakin sekular secara alamiah sebagai akibat dari proses sosial karena adanya pengaruh dari gerakan sekular, dan hal seperti ini dikenal sebagai Sekularisasi.

Dalam Agama dan Negara paham ini berbeda pandangan dengan paham Teokrasi, dalam paham Teokrasi di sebutkan bahwa antara negara dan Agama tidak dapat di pisahkan atau saling berhubungan antara satu dengan yang lain. Sedangkan paham sekuler sendiri itu berpendapat bahwa negara dan agama itu tidak dapat di hubungkan. paham sekuler ini memisahkan dan membedakan antara Agama dan Negara. Dalam negara sekuler, tidak ada hubungan antara sistem kenegaraan dengan agama. Dalam paham ini, negara hádala urusan hubungan antara manusia dengan manusia lain atau urusan duniawi, sedangkan agama adalah hubungan antara manusia dengan tuhannya. Dua hal ini menurut paham sekuler tidak dapat di satukan bahkan di campur adukkan. Akan tetapi harus di pisahkan.

Paham ini menerangkan bahwa negara adalah sebagai urusan hubungan manusia dengan manusia yang lain, atau dengan urusan dunia sedangkan agama sendiri adalah merupakan sebagai hubungan manusia dengan Tuhan saja, dalam dua hal ini menurut paham sekuler bahwa agama dengan negara tidak dapat di satukan, karena dalam paham ini menurut pengertian secara lahiriah saja antara negara dengan agama sudah Sangat berbeda, jadi agama dengan negara tidak dapat disatukan dengan alasan apapun. Di dalam negara sekuler sistem dan norma hukumnya dipisahkan antara nilai dengan norma agama. Sedangkan norma hukum ditentukan kesepakatan manusia dan tidak berdasarkan agama dan firman-firman Tuhan, meskipun mungkin norma-norma tersebut bertentangan dengan norma-norma agama. Walaupun paham ini memisahkan antara agama dan negara, akan tetapi pada dasarnya paham sekuler membebaskan warga negaranya agar tidak ikut campur (intervensif) dalam urusan agama. Dengan demikian masalah agama di kembalikan pada setiap individu.

3. HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA MENURUT PAHAM KOMUNISME

Paham ini memandang bahwa hakikat hubungan antara Agama dan Negara berdasarkan pada filosofi materialisme-dialektis dan materialisme-historis. Paham ini menimbulkan paham atéis. Paham yang di pelopori oleh kart marx dalam buku Louis leahy, tahun 1992: 97-98 ini menyatakan bahwa pandangan Agama sebagai candu masyarakat. Menurutnya manusia di tentukan oleh dirinya sendiri. Sementara agama di anggap sebagai suatu kesadaran diri bagi manusia sebelum menemukan dirinya sendiri.

Kehidupan manusia adalah dunia manusia itu sendiri yang kemudian menghasilkan masyarakat negara. Sedangkan agama di pandang sebagai realisasi fantastis (pelaksanaan sesuatu hingga menjadi kenyataan yang menakjubkan) makhluk manusia. Dan agama juga merupakan keluhan makhluk tertindas. Oleh karena itu agama harus di tekan bahkan di larang. Nilai yang tertinggi di dalam Negara adalah materi, karena manusia sendiri pada hakikatnya adalah materi.

Pendukung paham sekularisme menyatakan bahwa meningkatnya pengaruh sekularisme dan menurunnya pengaruh agama di dalam negara tersekularisasi adalah hasil yang tak terelakan dari Pencerahan yang karenanya orang-orang mulai beralih kepada ilmu pengetahuan dan rasionalisme dan menjaduh dari agama dan takhyul.

Penentang sekularisme melihat pandangan diatas sebagai arrogan, mereka membantah bahwa pemerintaan sekular menciptakan lebih banyak masalah dari paa menyelesaikannya, dan bahwa pemerintahan dengan etos keagamaan adalah lebih baik. Penentang dari golongan Kristiani juga menunjukan bahwa negara Kristen dapat memberi lebih banyak kebebasan beragama daripada yang sekular. Seperti contohnya, mereka menukil Norwegia, Islandia, Finlandia, dan Denmark, yang kesemuanya mempunyai hubungan konstitusional antara gereja dengan negara namun mereka juga dikenal lebih progresif dan liberal dibandingkan negara tanpa hubungan seperti itu. Seperti contohnya, Islandia adalah termasuk dari negara-negara pertama yang melegal kan aborsi, dan pemerintahan Finlandia menyediakan dana untuk pembangunan masjid.

Namun pendukung dari sekularisme juga menunjukan bahwa negara-negara Skandinavia terlepas dari hubungan pemerintahannya dengan agama, secara sosial adalah termasuk negara yang palng sekular di dunia, ditunjukkan dengan rendahnya persentase mereka yang menjunjung kepercayaan beragama.

Komentator modern mengkritik sekularisme dengan mengacaukannya sebagai sebuah ideologi anti-agama, ateis, atau bahkan satanis. Kata Sekularisme itu sendiri biasanya dimengerti secara peyoratif oleh kalangan konservatif. Walaupun tujuan utama dari negara sekular adalah untuk mencapai kenetralan di dalam agama, beberapa membantah bahwa hal ini juga menekan agama.

Beberapa filsafat politik seperti Marxisme, biasanya mendukung bahwasanya pengaruh agama di dalam negara dan masyarakat adalah hal yang negatif. Di dalam negara yang mempunyai kpercayaan seperti itu (seperti negara Blok Komunis), institusi keagamaan menjadi subjek dibawah negara sekular. Kebebasan untuk beribadah dihalang-halangi dan dibatasi, dan ajaran gereja juga diawasi agar selalu sejakan dengan hukum sekular atau bahkan filsafat umum yang resmi. Dalam demokrasi barat, diakui bahwa kebijakan seperti ini melanggar kebebasan beragama.

Beberapa sekularis menginginkan negara mendorong majunya agama (seperti pembebasan dari pajak, atau menyediakan dana untuk pendidikan dan pendermaan) tapi bersikeras agar negara tidak menetapkan sebuah agama sebagai agama negara, mewajibkan ketaatan beragama atau melegislasikan akaid. Pada masalah pajak Liberalisme klasik menyatakan bahwa negara tidak dapat "membebaskan" institusi beragama dari pajak karena pada dasarnya negara tidak mempunyai kewenangan untuk memajak atau mengatu agama. Hal ini mencerminkan pandangan bahwa kewenangan duniawi dan kewenangan beragama bekerja pada ranahnya sendiri- sendiri dan ketka mereka tumpang tindih seperti dalam isu nilai moral, kedua- duanya tidak boleh mengambil kewenangan namun hendaknya menawarkan sebuah kerangka yang dengannya masyarakat dapat bekerja tanpa menundukkan agama di bawah negara atau sebaliknya.