Islam, Sains Dan Ketauhidan

Hingga saat ini, sulit dibantah bahwa sejarah menunjukkan perkembangan ilmu pengetahuan modern yang kita kenal sekarang ini bermula pada pengembangan metode empiris oleh para ilmuwan Islam di kala Eropa sedang dirundung kegelapan peradaban di abad pertengahan.

Islam adalah satu-satunya agama di mana sains dan agama tidak bisa dipisahkan. Kenyataan-kenyataan sains dalam Al-Quran sudah terbukti benar. Termasuk kenyataan Al-Quran bahwa angkasa terus berkembang.

Al-Quran mendukung perkembangan sains. Namun, kesalahan dan kenyataan sejarah di dunia Islam sendiri telah menyebabkan sains kini tidak berkembang di sana. Secara pukul rata, salah satu sebabnya adalah banyaknya pemikiran sufi yang salah kaprah diadopsi oleh sebagian masyarakat Islam. Akibatnya mereka tidak fokus pada penciptaan peradaban materi, namun pada obsesi memperoleh kesaktian dan sejenisnya, menyuburkan berbagai bidah, tahayul dan khurafat.

Ilmu pengetahuan atau sains, secara singkat dapat dirumuskan sebagai: himpunan pengetahuan manusia yang dikumpulkan melalui suatu proses pengkajian dan dapat diterima oleh rasio, artinya dapat dinalar. jadi, kita dapat mengatakan bahwa sains adalah himpunan rasionalitas kolektif insani.

Islam tidak pernah menepikan sains. Sains menurut Encarta Encyclopedia ialah, “Systematized knowledge in any field, but applied usually to the organization of objectively verifiable sense experience.” Maksudnya, “Sains dalam skop yang luas adalah ilmu-ilmu yang diperoleh secara sistematik berdasarkan pengalaman dan yang dapat dibuktikan secara objektif.”

Secara umumnya, sains boleh didefinisikan sebagai ilmu yang dihasilkan melalui cerapan (yaitu analisis dengan menggunakan panca indera) serta pemahaman yang lahir daripadanya. Ia juga boleh diartikan sebagai uraian sistematik tentang fenomena alam semula jadi. Uraian secara sistematik melibatkan penggunaan intelek di samping kaedah yang dapat diukur (quantitatif). Jika diamati definisi-definisi ini, ia memang telah ditekankan oleh Islam berdasarkan dalil-dalil dan nas yang telah disebutkan sebelum ini.

Ilmu sains melahirkan teknologi. Teknologi (menurut Merriam-Webster Dictionary, The American Heritage Dictionary of the English Language: Fourth Edition dan WordNet Dictionary), boleh didefinisikan sebagai, “Pengaplikasian atau penggunaan ilmu terutamanya ilmu sains secara praktikal dan digunakan terutamanya dalam bidang perdagangan dan industri untuk kemanfaatan manusia.” Justeru, ilmu sains merupakan alat penting untuk membina teknologi namun ilmu sains bukanlah teknologi. Sebagai contoh, sains membicarakan tentang teori atom dan daripada itu lahirlah teknologi yang menguasai atom.

Keterbatasan Sains
Islam memberi kebebasan kepada para saintis untuk mengkaji, namun tetap menyadari keterbatasan akal yang dimiliki manusia. Justeru, sains Islam menjadikan wahyu sebagai sumber rujukan yang tertinggi. Dalam arti kata yang lain, dalam Islam, wahyu mengatasi akal karena wahyu datang dari kuasa tanpa batas sedangkan akal terbatas. Sains tidak boleh mengatasi wahyu. Konklusi sains yang melepaskan diri dari dasar-dasar wahyu dianggap sebagai konklusi sains yang salah dan. Al-Quran ini adalah pedoman bagi manusia, petunjuk dan rahmat bagi kaum yang meyakini.

Sains dalam Islam ialah sains yang berkonsepkan tauhid. Sains dalam Islam tunduk kepada prinsip-prinsip yang ditetapkan Allah melalui rasulnya. Sains dalam Islam tunduk kepada Al-Quran.

Di Barat, konsep yang merujukkan sains kepada Tuhan, wahyu dan kuasa ghaib dikenal sebagai creationism. Kadang kala ia dikenali juga sebagai intelligent design. Konsep-konsep ini ditolak oleh para saintis di barat. Sebagai contoh, para saintis Akademi Sains Nasional Amerika (The U.S. National Academy of Sciences) menegaskan bahwa “kenyataan yang menetapkan bahwa asal usul kehidupan ini berkaitan dengan kuasa ghaib (supernatural intervention) tidak boleh maknai sebagai sains.” Hal ini dinyatakan dalam Science and Creationism: A View from the National Academy of Sciences, Second Edition, terbitan National Academy of Sciences tahun 1999.

Penderitaan Sains Islam
Islam pernah mencatat pencapaian sains dan teknologi yang sangat mencengangkan. Masa keemasan itu ditandai oleh berkembangnya tradisi intelektual dan kuatnya spirit pencarian-pengembangan sains. Tapi, saat ini dunia Islam tertinggal jauh dari Barat. Data yang menyebutkan bahwa sekitar 55 persen dari total umat Islam yang melek aksara sangatlah memalukan. Sungguh ironi bagi dunia Islam yang pernah menjadi raksasa sains sampai abad pertengahan.

Ketertinggalan sains-teknologi menyebabkan dunia Islam mudah ditipu dan dieksploitasi. Menurut ISESCO (Islamic Educational, Scientific and Cultural Organization), 57 negara Islam yang tergabung dalam OKI (dengan 1,1 miliar penduduk dan wilayah seluas 26,6 juta kilometer) menyimpan 73 persen cadangan minyak dunia. Disebabkan problem di atas, gabungan negara-negara Islam itu hanya memiliki GNP sebesar 1,016 miliar dolar AS. Berbeda dengan Prancis (hanya penduduk 57,6 juta dan wilayah 0,552 juta kilometer) bisa memiliki GNP 1,293 miliar dolar AS.

Faktor KemunduranSufisme sering dikambinghitamkan sebagai sebab kemunduran sains Islam. Dikatakan bahwa gerakan moral spiritual yang dipelopori kaum sufi saat itu telah mengkristal menjadi tarekat-tarekat yang kebanyakan diikuti orang awam. Popularisasi tasawuf dianggap bertanggung jawab melahirkan sufi-sufi palsu (pseudo-sufis) dan menumbuhkan irrasional di masyarakat. Tidak sedikit dari mereka yang lebih tertarik pada aspek mistik supranatural. Obsesi untuk memperoleh kesaktian dan sejenisnya telah menyuburkan berbagai bidah, tahayul dan khurafat. Akibatnya, perkembangan iptek disalib oleh ilmu sihir, perdukunan serta aneka pseudo-sains seperti astrologi, primbon dan perjimatan.

David Lindberg menyebutkan bahwa kemunduran sains Islam erat kaitannya dengan oposisi kaum konservatif, krisis ekonomi-politik dan keterasingan. Sains dan saintis pada masa itu sering ditentang dan disudutkan, misalnya dalam kasus pembakaran buku-buku sains dan filsafat di Cordoba. Krisis ekonomi, kekacauan politik dan keterasingan umat Islam memiliki sumbangan signifikan pada kejatuhan sains ini. Kehilangan dukungan pilar-pilar ini membuat perjalanan sains menjadi mandeg, bahkan berhenti.

Di samping faktor-faktor di atas dan faktor lainnya, kemunduran sains Islam jelas diawali dengan kehilangan spirit sains Islam itu sendiri. Para ilmuwan terkemuka zaman keemasan Islam senantiasa mengaitkan setiap aktifitas ilmiahnya dengan ajaran Islam. Mereka mendalami sains tidak semata-mata untuk menjadi saintis, tetapi menjadi hamba Allah yang menjalankan tugas kehambaannya dengan baik. Spirit seperti ini tidak hanya hilang dari saintis, tapi banyak pihak yang terkait dengan kebijakan sains, terutama pemerintah.

Jihad-Sains Umat Islam mesti banyak berbenah dalam mengejar segala ketertinggalannya dari Barat. Ada beberapa upaya jihad-sains yang harus dilakukan umat Islam untuk memutar kembali roda sejarah ke arah kegemilangan sains Islam.

Pertama, meningkatkan pendidikan sains-teknologi di setiap lembaga pendidikan Islam. Banyak sekolah dan universitas milik umat Islam yang sedikit sekali mengenalkan sains-teknologi. Mereka lebih fokus pada ilmu-ilmu keislaman. Tak satu pun negara Muslim yang memiliki universitas atau pusat riset pengembangan sains-teknologi yang berkelas dunia. Seiring dengan itu, kemampuan berbahasa Inggris juga harus ditingkatkan dengan serius. Saat ini, banyak umat Islam yang mengalami kendala bahasa dalam mengakses literatur sains yang sekitar 80 persen tersimpan dalam bahasa Inggris.

Kedua, menggalakkan penelitian. Banyak sarjana Muslim penyandang gelar Ph.D dari universitas terkenal Barat yang menjauh dari kegiatan penelitian dan memilih menjadi birokrat. Nature, jurnal ilmiah sangat bergengsi di dunia, mengatakan bahwa prestasi ilmiah negara-negara Organisasi Konferensi Islam (OKI) sangat jauh terbelakang. Science Citation Index dan Social Sciences Citation Index mencatat jumlah rata-rata publikasi ilmiah 47 negara-negara OKI yang disurvei hanya 13 per satu juta penduduk, sementara rata-rata dunia untuk indeks ini ialah 137. Lebih parah lagi, dari 28 negara dengan produktivitas artikel ilmiah terendah, separuhnya adalah anggota OKI. Gabungan 20 negara Arab hanya menyumbang 0,55 persen dari total karya ilmiah dunia, sementara Israel 0,89 persen, Jerman 7,1 persen, Inggris 7,9 persen, Jepang 8,2 persen dan Amerika 30,8 persen.

Ketiga, memberikan ruang cukup bagi pengembangan sains. Pemahaman rigid pada al-Quran dan Islam secara umum dapat berdampak besar pada kran kebebasan berpikir. Kehilangan kelenturan memahami Islam berakibat fatal dengan menganggap bahwa sains sebagai produk budaya Barat yang tidak Islami. Kemajuan bioteknologi seperti genetic engineering, transplantation dan cloning yang sering buru-buru divonis tidak Islami tanpa memahami sisi sainsnya lebih mendalam merupakan produk rigiditas ini.

Berdasarkan pembahasan di atas, ada beberapa hal yang bisa simpulkan.
Islam adalah satu-satunya agama di mana sains dan agama tidak bisa dipisahkan.
Sains dalam Islam ialah sains yang berkonsepkan tauhid. Sains dalam Islam tunduk kepada prinsip-prinsip yang ditetapkan Allah melalui rasulnya.

Umat Islam harus banyak berbenah untuk mengejar segala ketertinggalannya dari Barat. Ketertinggalan sains-teknologi menyebabkan dunia Islam mudah ditipu dan dieksploitasi. Caranya dengan (1) meningkatkan pendidikan sains-teknologi di setiap lembaga pendidikan Islam, (2) menggalakkan penelitian, (3) memberikan ruang-nafas yang cukup bagi pengembangan sains.

Agar kita mampu mengejar ketertinggalan tersebut, disarankan agar masyarakat Islam, khususnya pembaca, melakukan langkah kongkret sesegera mungkin. Seperti yang dinyatakan oleh Abdullah Gymnastiar dalam khotbahnya, “mulailah dari sekarang, mulailah dari yang kecil dan mulailah dari diri sendiri.” Semoga sukses!


Sumber : empiris