Wali Tidak Mau Menikahkan..?

WALI TIDAK MAU MENIKAHKAN, BOLEHKAH NIKAH DENGAN WALI HAKIM?

 

SOAL:
Ada kawan saya (perempuan) yang ingin menikah dengan seorang laki-laki, tetapi tidak disetujui oleh keluarganya dengan berbagai alasan, misalnya wajah calon suaminya tidak “cakep”. Kawan saya tersebut terus berusaha melobi keluarganya selama 4 bulan agar dinikahkan tapi keluarganya tetap tidak mau menikahkan. Pertanyaannya :   
  1. Bolehkah perempuan tersebut menikah dengan wali hakim, mengingat usahanya untuk mendapatkan wali nikah tidak berhasil?
  2. Apa itu wali hakim? Bagaimana mendapatkan wali hakim itu?  (Ymn, Yogyakarta).

JAWAB :

Jika wali tidak mau menikahkan, harus dilihat dulu alasannya, apakah alasan syar’i atau alasan tidak syar’i. Alasan syar’i adalah alasan yang dibenarkan oleh hukum syara’, misalnya anak gadis wali tersebut sudah dilamar orang lain dan lamaran ini belum dibatalkan, atau calon suaminya adalah orang kafir (misal beragama Kriten/Katholik), atau orang fasik (misalnya pezina dan suka mabok), atau mempunyai cacat tubuh yang menghalangi tugasnya sebagai suami, dan sebagainya. Jika wali menolak menikahkan anak gadisnya berdasarkan alasan syar’i seperti ini, maka wali wajib ditaati dan kewaliannya tidak berpindah kepada pihak lain (wali hakim) (Lihat HSA Alhamdani, Risalah Nikah, Jakarta : Pustaka Amani, 1989, hal. 90-91)

Jika seorang perempuan memaksakan diri untuk menikah dalam kondisi seperti ini, maka akad nikahnya tidak sah alias batil, meskipun dia dinikahkan oleh wali hakim. Sebab hak kewaliannya sesungguhnya tetap berada di tangan wali perempuan tersebut, tidak berpindah kepada wali hakim. Jadi perempuan itu sama saja dengan menikah tanpa wali, maka nikahnya batil. Sabda Rasulullah SAW,”Tidak [sah] nikah kecuali dengan wali.”  (HR. Ahmad; Subulus Salam, III/117).

Namun adakalanya wali menolak menikahkan dengan alasan yang tidak syar’i, yaitu alasan yang tidak dibenarkan hukum syara’. Misalnya calon suaminya bukan dari suku yang sama, orang miskin, bukan sarjana, atau wajah tidak rupawan, dan sebagainya. Ini adalah alasan-alasan yang tidak ada dasarnya dalam pandangan syariah, maka tidak dianggap alasan syar’i. Jika wali tidak mau menikahkan anak gadisnya dengan alasan yang tidak syar’i seperti ini, maka wali tersebut disebut wali ‘adhol.  Makna ‘adhol, kata Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani, adalah menghalangi seorang perempuan untuk menikahkannya jika perempuan itu telah menuntut nikah. Perbuatan ini adalah haram dan pelakunya (wali) adalah orang fasik (Taqiyuddin An-Nabhani, An-Nizham Al-Ijtima’i fi Al-Islam, hal. 116). Firman Allah SWT :

“…maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma’ruf.” (TQS Al-Baqarah : 232)

Jika wali tidak mau menikahkan dalam kondisi seperti ini, maka hak kewaliannya berpindah kepada wali hakim (Imam Asy-Syirazi, Al-Muhadzdzab, II/37; Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘ala Al-Madzahib Al-Arba’ah, IV/33). Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW,”…jika mereka [wali] berselisih/bertengkar [tidak mau menikahkan], maka penguasa (as-sulthan) adalah wali bagi orang [perempuan] yang tidak punya wali.” (Arab : …fa in isytajaruu fa as-sulthaanu waliyyu man laa waliyya lahaa) (HR. Al-Arba’ah, kecuali An-Nasa`i. Hadits ini dinilai shahih oleh Ibnu ‘Awanah, Ibnu Hibban, dan Al-Hakim, Subulus Salam, III/118).

Yang dimaksud dengan wali hakim, adalah wali dari penguasa, yang dalam hadits di atas disebut dengan as-sulthan. Imam Ash-Shan’ani dalam kitabnya Subulus Salam II/118 menjelaskan, bahwa pengertian as-sulthan dalam hadits tersebut, adalah orang yang memegang kekuasaan (penguasa), baik ia zalim atau adil (Arab : man ilayhi al-amru, jaa`iran kaana aw ‘aadilan). Jadi, pengertian as-sulthaan di sini dipahami dalam pengertiannya secara umum, yaitu wali dari setiap penguasa, baik penguasa itu zalim atau adil. (Bukan hanya dari penguasa yang adil). Maka dari itu, penguasa saat ini walaupun zalim, karena tidak menjalankan hukum-hukum Islam dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara,  adalah sah menjadi wali hakim, selama tetap menjalankan hukum-hukum syara’ dalam urusan pernikahan. Demikianlah pemahaman kami, wallahu a’lam.

Untuk mendapatkan wali hakim, datanglah ke Kepala KUA Kecamatan tempat calon mempelai perempuan tinggal. Hal ini karena di Indonesia sejak 14 Januari 1952 berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 1952, wali hakim dijalankan oleh Kepala KUA Kecamatan, yang dilaksanakan oleh para Naib yang menjalankan pekerjaan pencatatan nikah dalam wilayah masing-masing. Peraturan ini berlaku untuk wilayah Jawa dan Madura. Sedang untuk luar Jawa dan Madura, diatur dengan Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 1952 dan mulai berlaku mulai tanggal 1 Juli 1952 (Lihat HSA Alhamdani, Risalah Nikah, Jakarta : Pustaka Amani, 1989, hal. 91). [ ]

Yogyakarta, 25 Agustus 2003
 
Muhammad Shiddiq Al-Jawi